Suatu hari A tertangkap basah mencuri suatu barang. Ia kemudian digelandang ke kantor polisi dan dilanjutkan ke meja hijau. Di pengadilan ia mengatakan terpaksa mencuri karena anaknya kelaparan. Jaksa bertanya: mengapa ia tak minta bantuan pada pemerintah untuk memberi makan anaknya. A mengaku sudah minta bantuan berkali-kali, namun sama sekali tak ada yang memperdulikannya karena ia tak memiliki identitas yang jelas. A adalah korban penggusuran yang mendapat ganti rugi sangat kecil.
Kisah tersebut adalah kisah fiktif. Saya hanya ingin bertanya pada Anda: pantaskah A disebut melakukan tindak kejahatan?
Pantas, karena ia terbukti membawa lari barang milik orang lain tanpa seijin yang punya. A membela, rumah dan pekarangannya juga dilarikan oleh oknum-oknum yang menggusur rumahnya. Ia telah berusaha minta bantuan, tapi tak ditanggapi. Jadi sebenarnya ia adalah korban. Dan jika dihitung secara matematis, barang yang ia curi nilainya sangat kecil dibanding kerugian akibat penggusuran.
Tidak pantas, karena ia terpaksa melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk melangsungkan kehidupan anak-anaknya. Pemilik barang tersebut masih bisa hidup meski barangnya hilang. Namun anak-anak A bisa mati jika A tidak mendapat sesuatu untuk dimakan. Para penuntut membantahnya, kejahatan tetap kejahatan. Meski A korban kejahatan lain, namun ia tak boleh melakukan tindak kejahatan kepada yang lainnya lagi sebagai silih atas kerugian yang ia derita.
Jadi tindakan A ini bisa dibenarkan atau tidak?
Nah, bingungkan? Tulisan ini sebenarnya tak hendak berdebat secara hukum atau filsafat tentang kebenaran. Ilustrasi tersebut saya gunakan untuk menggambarkan bahwa kadang kebenaran sulit dilihat. Hal yang sama juga dihadapi oleh para jurnalis ketika meliput sebuah peristiwa saling klaim kebenaran.
Pegawai Pemadam Kebakaran sering mengeluh minimnya gaji dan fasilitas kerja. Jika terjadi kebakaran dan tim pemadam kebakaran terlambat datang, mereka akan disalahkan. Padahal tugas tersebut kadang menjadi pertaruhan nyawa bagi mereka. Guru sering disalahkan karena mereka secara sistematis membuat kecurangan dalam UN. Padahal guru-guru tersebut bekerja di gedung yang hampir rubuh, dengan fasilitas yang sangat tidak layak. Jika mereka harus menggunakan standar kelulusan sekolah-sekolah favorit di kota, tentu sangat sulit dilakukan.
Saya hanya ingin menyatakan bahwa bagi jurnalis profesional dengan masa kerja bertahun-tahun, ketika menghadapi hal-hal seperti ini pun kadang perlu sedikit merenung, menentukan arah reportase mereka. Apalagi para blogger dan citizen networker yang hanya berbekal maksimal kursus satu-dua jam tentang jurnalisme.
Sebenarnya hampir sulit membuat reportase yang 100% tidak bias. Bias hampir pasti selalu terjadi pada laporan jurnalis profesional. Bias ini bisa disebabkan oleh latar belakang tata nilai budaya tempat jurnalis tumbuh atau kebijakan redaksi atau aliran sosial-politik jurnalis dan sebagainya.
Lalu jika sebuah situs atau blog mengklaim dirinya benar-benar jurnalis warga, jika kita refleksikan pada makna asli jurnalisme, menurut saya bisa diragukan kebenarannya. Secara mudah, hasil dari jurnalisme adalah berita atau news. News adalah information about recent events or happenings. Informasi tentang peristiwa atau kejadian. Berita bukanlah informasi + opini.
Jika sebuah artikel tidak berisi berita, maka artikel tersebut bukanlah artikel jurnalisme. Jika sebuah situs atau blog sama sekali tidak menghasilkan artikel jurnalisme, maka ia tak bisa mengklaim dirinya situs/blog jurnalisme warga. Demikian juga penulisnya. Jika selalu beropini, ia sebenarnya tak layak disebut jurnalis warga.
Tulisan ini ingin menegaskan perlunya membedakan antara jurnalisme warga/citizen journalism dengan media warga/citizen media. Juga berbeda dengan civic journalism. Citizen media adalah media (situs, blog, social network) yang isinya tergantung keinginan pemiliknya. Civic journalism adalah media mainstream yang membolehkan keterlibatan warga dalam bentuk poling atau komentar warga.