Dimanakah Nilai-nilai Pendidikan?
Perilaku yang tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan, misalnya, tindak korupsi yang ternyata dilakukan oleh pejabat yang notabene adalah orang-orang yang berpendidikan. Termasuk dalam tindak korupsi ini adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Mengenai hal ini, publik Indonesia sudah pada mengetahui berapa jumlah para pejabat yang melakukan perbuatan tidak terpuji ini dan sudah diproses oleh Komite Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belum lagi tindak kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi di negeri ini. Tidak sedikit dari saudara kita yang begitu tega melakukan penyerangan, anarkis, bahkan membunuh. Padahal, kita semua mengetahui bahwa hal yang paling penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah saling menghargai dan menghormati. Apalagi hidup di sebuah negeri kepulauan yang terdiri dari berbagai macam adat istiadat yang berbeda sebagaimana di Indonesia. Sudah tentu sangat dibutuhkan adanya sikap toleransi antara satu dengan yang lain. Apabila terjadi kesalahpahaman semestinya dapat diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah; jika tidak menemukan jalan keluar dapat menempuh jalur hukum yang tersedia. Sungguh, hal ini semestinya dilakukan oleh orang-orang yang terdidik, bukan malah main hakim sendiri.
Keadaan yang memprihatinkan sebagaimana tersebut ditambah lagi dengan perilaku sebagian remaja Indonesia yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai remaja yang terdidik. Misalnya, tawuran antarpelajar, tersangkut jaringan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pemakai, atau melakukan tindak asusila. Mengenai tindak asusila ini betapa sedih kita mendengar kabar beberapa pelajar tertangkap karena melakukan adegan intim layaknya suami istri, merekamnya, lantas mengedarkannya melalui internet. Sungguh, kita semua prihatin mendapati kenyataan ini. Di manakah rasa malu itu disimpan, di manakah moralitas itu dibuang, dan di manakah nilai-nilai pendidikan yang selama ini diajarkan?
Pendidikan Karakter di Indonesia
Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula dengan pendidikan di negeri tercinta ini. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi bangsa yang bodoh dan terbelakang, terutama dalam menghadapi zaman yang terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Maka, perbaikan sumber daya manusia yang cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia terus diupayakan melalui proses pendidikan.
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul dan diharapkan, maka proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya memperbaiki kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan ini muncul karena proses pendidikan yang selama ini dilakukan dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada juga yang menyebut bahwa pendidikan Indonesia telah gagal dalam membangun karakter. Penilaian ini didasarkan pada banyaknya para lulusan sekolah dan sarjana yang cerdas secara intelektual, namun tidak bermental tangguh dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan.
Semoga dengan adanya pendidikan karakter ini menjadikan anak bangsa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia.

Pendidikan yang Membangun Anak Didik Bisa Bersikap Kritis
Hal yang penting untuk ditumbuhkan dalam pendidikan yang membebaskan adalah membangun anak didik untuk bisa bersikap kritis. Kemampuan untuk bisa bersikap kritis ini bisa tumbuh dan berkembang setelah anak didik diberi ruang untuk didengarkan, terbangun suasana yang dialogis, bahkan anak didik diperbolehkan untuk berbeda pendapat; tidak hanya dengan sesama temannya, namun berbeda pendapat dengan gurunya sekalipun.
Pendidikan kritis yang diperlukan di sini adalah pendidikan yang kritis terhadap status quo. Dalam Majalah Basis, Bernhar Adeney-Risakotta menyampaikan bahwa pendidikan di Indonesia terlalu lama menjadi sarana propaganda yang membela dan menguatkan struktur kekuasaan yang ada. Pendidikan yang kritis terhadap status quo tidak hanya berarti kritis terhadap pemerintah, akan tetapi juga menyangkut struktur kekuasaan ekonomi, media massa, agama-agama, pendidikan, internet, gerakan politik, LSM, institusi kesehatan, dll. Dalam era reformasi, menurut Bernhar, sikap kritis terhadap ide-ide dari mana pun harus dikuatkan. Pendidikan sebaiknya membangun sikap kritis yang bertanggung jawab dan bukan kritis yang dogmatis-ideologis.
Berangkat dari apa yang disampaikan oleh Bernhar tersebut, pendidikan memang menempatkan posisinya sebagai wadah bagi anak didik untuk bisa bersikap kritis terhadap status quo. Penulis sepakat mengenai pemahaman bahwa kritis terhadap status quo bermakna tidak hanya kepada pemerintah. Hal ini penting karena tidak sedikit dari kita yang kadang dibuat tak berdaya ketika berhadapan dengan kenyataan hidup. Misalnya, menyangkut struktur kekuasaan ekonomi. Betapa banyak di antara kita yang tidak berkutik sama sekali ketika dihadapkan dengan struktur ekonomi yang tidak adil. Di sinilah penting bagi pendidikan untuk membangun kesadaran anak didiknya untuk bisa bersikap kritis terhadap struktur ekonomi yang sengaja dijalankan dengan tidak adil oleh penguasa atau pemilik modal besar.
Demikian pula dengan status quo yang berada di tangan kekuatan media massa. Media massa yang dijalankan dengan netral dan mengangkat permasalahan secara seimbang tentu tidak masalah bagi kehidupan masyarakat. Sesungguhnya demikianlah yang dikehendaki semestinya dengan keberadaan media massa. Akan tetapi, ada juga media massa yang kekuatannya digunakan untuk menekan pihak dan golongan tertentu. Di sinilah penting bagi pendidikan untuk membangun kesadaran anak didiknya agar berani bersikap dan kritis terhadap media massa.
Kritis terhadap status quo juga bisa bermakna kritis terhadap agama-agama. Persoalan ini memang rawan untuk disalahpahami. Namun, kritis terhadap agama yang dimaksudkan di sini adalah kritis terhadap pemahaman agama yang dogmatis dan dilembagakan dalam rangka kepentingan kelas atau bahkan kelompok tertentu. Kebenaran dalam agama semestinya tidak memperalat kelompok tertentu demi keuntungan kelompok yang lain. Kebenaran dalam agama tentunya juga bukan membenarkan penguasaan kelompok tertentu yang menindas kemerdekaan kelompok yang lainnya. Di sinilah pendidikan harus bisa membangun kesadaran anak didiknya untuk berani bersikap dan kritis agar agama menjadikan kehidupan manusia damai, rukun, dan saling menghormati antara satu dengan lainnya.