Pernahkah ide-ide tersebut terlintas dalam pikiran Anda mengalami depresi. Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa sulit yang terasa menghimpit. Meski demikian, apakah wajar kita tenggelam dalam depresi ? Atau selama ini apakah kita salah mengerti tentang depresi ? Tentunya, Anda jangan sampai bingung atau bahkan depresi memikirkan jawabannya. Dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ(K), Ketua Departemen Ilmu Psikiatri FKUI-RSCM, akan membantu Anda mengenal serta menangkal depresi.
“Tidak ada yang bisa kulakukan di dunia ini. Untuk apa aku hidup ? Aku adalah manusia yang tidak berharga. Tidak ada gunanya lagi aku berada di tempat ini. Aku sedih sekali, karena tidak ada seorangpun yang menginginkan keberadaanku. Lebih baik aku mati saja.”
Bukan Sekedar Sedih
Selama ini, memang sepertinya masih banyak yang salah mengerti akan depresi yang sebenarnya. “Depresi itu bukan sekedar sedih. Tapi lebih dari itu. Jadi, bukan karena sedang sedih langsung bilang depresi. Depresi sebenarnya merupakan salah satu bentuk gangguan medik pada diri seseorang,” jelas Dr. Agung, panggilan akrabnya. Depresi pada dasarnya memang terkait dengan proses yang terjadi di otak. Jadi seringkali tidak mudah mengusirnya. Beda antara depresi dengan sedih “biasa” terletak pada gangguan fungsi penderitanya. Yang dimaksud dengan gangguan fungsi di sini adalah gangguan dalam melakukan aktivitas rutin sehari-hari. Misalnya tampak dari kinerja dan produktivitas yang menurun. Hal tersebut disebabkan, selain perubahan mood menjadi hipotim (sedih), penderita depresi juga kehilangan semangat dan tidak ada energi dalam melakukan kegiatan. Pada derajat yang lebih berat, ia juga merasa dirinya tidak berharga dan muncul keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Gejala lain yang lazim ditemukan adalah gangguan tidur, baik itu terlalu banyak tidur atau tidak bisa tidur (insomnia).
Serotonin, Stres, dan Depresi
Lazimnya, depresi tidak disebabkan oleh satu penyebab yang jelas. Melainkan berbagai kombinasi dari berbagai faktor. Depresi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri sendiri, misalnya faktor biokimia. Ada orang yang mengalami kelainan neurotransmitter (zat kimia penghantar sinyal antar saraf) yang disebut serotonin. Pada orang yang depresi, kadar serotonin cenderung rendah. Di luar negeri, karena sudah tersedia pemeriksaan kadar serotonin, maka dapat dipastikan apakah depresi tersebut benar disebabkan oleh menurunnya serotonin atau tidak.
Selain itu, pada kelainan otak tertentu terutama pada area otak yang berhubungan mood, juga dapat berbuntut depresi. Maka muncul istilah depresi pasca stroke atau depresi yang berkaitan dengan epilepsi.”Misalnya pada pasien stroke yang mengalami kerusakan otak sebelah kiri, biasanya mengalami depresi. Sebaliknya jika sebelah kanan yang rusak, maka mood pasien akan cenderung naik, bahkan sampai mania,” kata Dr. Agung. Pada pasien depresi yang disebabkan oleh kelainan di otak, faktor stres tidak mutlak diperlukan. Karena keadaan otak orang tersebut lah yang membuatnya mudah depresi.
Depresi juga diduga berhubungan dengan genetik, Karena seringkali terdapat lebih dari 1 orang yang mengalami depresi dalam keluarga, kita bebas dari depresi.
Faktor eksternal adalah faktor lingkungan, yang umumnya berupa stres psikologis. Stresor merupakan pemicu yang paling sering ditemukan pasien depresi. Stresor dapat berupa berbagai hal, seperti kehilangan orang terdekat, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Stresor dapat membuat seseorang melakukan introyeksi, menyalahkan diri sendiri dan menjadi depresi.

Terapi
Terapi yang diberikan adalah terapi antidepresan, terutama diberikan untuk depresi berat dan yang dicurigai dilatarbelakangi oleh kelainan biologis. Antidepresan baru menunjukkan efek setelah 1-2 minggu pemakaian. Oleh sebab itu, menurut Dr. Agung, kadang psikiater meresepkan antidepresan dan anticemas sekaligus untuk membantu menenangkan pasien. Sebab awal kerja anticemas lebih cepat. Pemberian anticemas pada kondisi tersebut paling lama hanya selama 2 minggu.
Obat antidepresan tidak menyebabkan ketergantungan seperti golongan anticemas. Sehingga dapat diberikan dalam waktu yang cukup lama, 3-6 bulan. Setelah itu dosisnya diturunkan perlahan dan bertahap untuk mencegah relaps. Jika dalam waktu 2 minggu tidak ada perubahan bermakna, maka obat mungkin akan diganti. Jika sampai 2 kali ganti obat tidak membaik , maka dipertimbangkan untuk ECT (electroconvulsive therapy).
Penatalaksanaan secara psikologis dilakukan dengan konseling dan psikoterapi supportif. Selain itu, pasien juga perlu dipindahkan dari lingkungan yang memicu depresinya. Dukungan keluarga juga sangat penting terutama bagi pasien depresi berat. Pasien golongan tersebut harus diawasi, karena obat antidepresan yang diberikan bisa menjadi dua, Karena bisa menjadi pedang bermata dua, karena bisa digunakan sebagai alat bunuh diri.
Dukung dan Dampingi
Penting untuk diingat, pasien depresi sangat membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya.”Keluarga jangan menyalahkan dia karena depresi. Jangan bilang misalnya ‘Begitu saja depresi’. Karena tidak semudah itu mengatasi depresi. Dengan begitu, sering orang yang depresi merasa disalahkan dan malah semakin terpuruk dalam depresinya,” jelas Dr. Agung. Pasien depresi butuh pendampingan dan dukungan. Pada saat ia sedih, hendaknya ada seseorang yang setidaknya menemaninya. Lebih baik lagi jika mau mendengarkan keluh kesahnya. Tentu saja, ini bukan berarti Anda harus turut tenggelam dalam depresinya.
Keluarga atau orang sekitar perlu mendampingi dan mengawasi konsumsi obat. Sebab ternyata obat dapat disalahgunakan pasien depresi untuk bunuh diri. Pasien depresi memang lazim memiliki keinginan untuk bunuh diri. Jangan anggap remeh pernyataan ingin bunuh diri. Setiap ancaman bunuh diri harus ditanggapi secara serius. Jika sudah keluar kata-kata demikian, sebaiknya pasien segera diba wa ke dokter. Sebenarnya, ancaman bunuh diri sudah termasuk dalam indikasi rawat inap. Pastikan tidak ada benda yang berpotensi digunakan sebagai alat bunuh diri. Misalnya, tali panjang, benda dan benda-benda tajam. Kalau sudah ingin mati, tali sepatu pun dapat dipakai untuk alat bunuh diri.
Tangkal Depresi
Dr. Agung mengatakan, untuk menangkal depresi, kita harus berusaha untuk hidup seimbang dengan berpikiran positif. Kita harus dapat menerima kondisi diri dan lingkungan sekitar yang tidak dapat kita ubah. Tidak semua kondisi kehidupan dapat kita kendalikan. Selain itu, Dr. Agung juga berpesan untuk membiasakan diri untuk aktif. Lakukanlah kegiatan positif yang dapat mengisi waktu, sehingga kita tidak sempat melamun merenungkan masalah-masalah yang mengganggu. Jangan terlalu banyak menyendiri. Aktivitas sosial atau olah raga bersama teman-teman dan keluarga sangat membantu dalam mencegah depresi.